Kedudukan Adab Dalam Islam
![](http://img2.blogblog.com/img/icon18_edit_allbkg.gif)
https://ahlussunnah-muna.blogspot.com/2015/04/kedudukan-adab-dalam-islam_25.html
Adab adalah menggunakan sesuatu yang terpuji
berupa ucapan dan perbuatan atau yang terkenal dengan sebutan Al-Akhlaq
Al-Karimah. Dalam Islam, masalah adab dan akhlak mendapat perhatian serius yang
tidak didapatkan pada tatanan manapun. Hal ini dikarenakan syariat Islam adalah
kumpulan dari aqidah, ibadah, akhlak, dan muamalah. Ini semua tidak bisa
dipisah-pisahkan. Manakala seseorang mengesampingkan salah satu dari perkara
tersebut, misalnya akhlak, maka akan terjadi ketimpangan dalam perkara dunia
dan akhiratnya. Satu sama lainnya ada keterkaitan sebagaimana sabda Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِفَلْيُحْسِنْ
إِلَى جَارِهِ
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari
akhir hendaklah ia berbuat baik terhadap tetangganya.” (HR. Muslim, Bab
Al-Hatstsu’ala Ikramil Jaar wadh Dhaif)
Di sini terlihat jelas bagaimana kaitan antara akidah dan akhlak yang baik. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menafikan keimanan orang yang tidak menjaga amanah dan janjinya.
Di sini terlihat jelas bagaimana kaitan antara akidah dan akhlak yang baik. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menafikan keimanan orang yang tidak menjaga amanah dan janjinya.
لاَ إِيْمَانَ لِمَنْ لاَ أَمَانَةَ لَهُ، وَلاَ دِيْنَ لِمَنْ
لاَ عَهْدَ لَهُ
“Tidak ada iman bagi orang yang tidak menjaga
amanah dan tidak ada agama bagi orang yang tidak menjaga janjinya.” (HR. Ahmad
dan Ibnu Hibban. Dishahihkan oleh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Al-Jami’
no. 7179)
Bahkan suatu ibadah tidak ada nilainya manakala adab dan akhlak tidak dijaga. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya): “Barangsiapa tidak meninggalkan ucapan dusta dan perbuatan dusta maka Allah tidak butuh dengan (amalan) meninggalkan makan dan minumnya (puasa, red.).” (HR. Al-Bukhari no. 1903). Yakni puasanya tidak dianggap.
Bahkan suatu ibadah tidak ada nilainya manakala adab dan akhlak tidak dijaga. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya): “Barangsiapa tidak meninggalkan ucapan dusta dan perbuatan dusta maka Allah tidak butuh dengan (amalan) meninggalkan makan dan minumnya (puasa, red.).” (HR. Al-Bukhari no. 1903). Yakni puasanya tidak dianggap.
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjelaskan
bahwa adab memiliki pengaruh yang besar untuk mendatangkan kecintaan dari
manusia, sebagaimana firman-Nya:
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ
فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ
وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu
berlaku lemah lembut, terhadap mereka. Seandainya kamu bersikap keras lagi
berhati kasar tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu
maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka dan bermusyawarahlah dengan
mereka dalam urusan itu.” (Ali ‘Imran: 159).
Asy-Syaikh As-Sa’di rahimahullahu menerangkan:
“Akhlak yang baik dari seorang pemuka (tokoh) agama menjadikan manusia tertarik
masuk ke dalam agama Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menjadikan mereka senang
dengan agama-Nya. Di samping itu, pelakunya akan mendapat pujian dan pahala
yang khusus. (Sebaliknya) akhlak yang jelek dari seorang tokoh agama
menyebabkan orang lari dari agama dan benci kepadanya, di samping bagi
pelakunya mendapat celaan dan hukuman yang khusus. Inilah Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, seorang yang ma’shum (terjaga dari kesalahan).
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengatakan kepadanya apa yang Allah Subhanahu wa
Ta’ala katakan (pada ayat ini). Bagaimana dengan selainnya? Bukankah hal yang
paling harus dan perkara terpenting adalah seseorang meniru akhlaknya yang
mulia, bergaul dengan manusia dengan apa yang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam contohkan berupa sifat lemah lembut, akhlak yang baik dan menjadikan
hati manusia suka? Ini dalam rangka melaksanakan perintah Allah Subhanahu wa
Ta’ala dan menarik para hamba ke dalam agama-Nya.” (Taisir Al-Karimirrahman
hal. 154).
Sumber: www.darussalaf.or.id