Larangan Untuk Menjadikan Allah Sebagai Perantara Kepada Makhluk-Nya

Dari Jubair bin Muth’im radhiyallâhu ‘anhu, ia berkata, “Ada seorang badui datang kepada Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam dan berkata, ‘Wahai Rasulullah! Orang-orang kepayahan dan lemah, anak dan istri kami kelaparan, dan harta benda kami musnah. Oleh karena itu, mintakanlah hujan untuk kami kepada Rabb-mu. Sungguh kami meminta Allah sebagai per¬antara kepadamu dan kami memintamu sebagai perantara kepada Allah.’ Maka Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam berkata,
سُبْحَانَ اللهِ! سُبْحَانَ اللهِ!
‘Subhanallah, Subhanallah.’ Beliau terus bertasbih sampai tampak (perasaan takut karena kemarahan beliau) pada raut wajah para shahabat. Kemudian beliau bersabda,
وَيْحَكَ، أَتَدْرِي مَا اللهُ؟ إِنَّ شَأْنَ اللهِ أَعْظَمُ مِنْ ذَلِكَ، إِنَّهُ لَا يُسْتَشْفَعُ بِاللهِ عَلَى أَحَدٍ مِنْ خَلْقِهِ
‘Celaka kamu! Tahukah kamu siapakah Allah itu? Sungguh kedudukan Allah jauh lebih agung daripada yang demikian itu. Sesungguhnya tidak dibenarkan untuk menjadikan Allah sebagai perantara kepada siapapun dari kalangan makhluk-Nya …,’,” dan seterusnya. [Diriwayatkan oleh Abu Dawud].
Karena adanya penjelasan tentang keharaman menjadikan Allah sebagai perantara terhadap makhluk-Nya, karena hal itu adalah per¬buatan aniaya bagi rubûbiyyah-Nya dan merusak tauhid hamba. Sebab, (tugas) sang perantara adalah menjadi perantara kepada yang kedudukannya lebih tinggi (daripada perantara itu sendiri), padahal Allah Maha Suci dari hal yang demikian itu karena tidak ada seorang pun yang lebih tinggi daripada Allah Ta’âlâ. Shahabat yang mulia ini menyebutkan bahwa seseorang dari pedalaman datang kepada Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam untuk mengadukan apa yang menimpa manusia dari keperluan mereka terhadap turunnya hujan, dan dia meminta agar Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam meminta kepada Allah agar menurunkan hujan untuk mereka. Akan tetapi orang itu tidak beradab kepada Allah, yang ia menjadikan Allah sebagai perantara (dalam meminta) kepada Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Ini adalah kebodohan dari dirinya tentang hak-hak Allah, karena syafa’at (perantara) itu adanya hanyalah dari yang lebih rendah (kedudukannya) kepada lebih tinggi.
Oleh karena itulah, Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam mengingkari hal tersebut dan menyucikan Rabb-nya dari celaan seperti itu. Sementara itu beliau tidak mengingkari permintaan menjadikan beliau sebagai perantarara orang tersebut ketika menjadikan beliau sebagi perantara kepada Allah Subhânahu dengan doa beliau (Nabi) kepada-Nya.
Hadits ini menunjukkan keharaman menjadikan Allah sebagai perantara kepada seorang pun dari kalangan makhluk-Nya, karena itu merupakan pencelaan yang Allah menyucikan diri-Nya dari hal tersebut.

Faedah Hadits

  1. Keharaman menjadikan Allah sebagai perantara kepada seorang pun dari makhluk-Nya, karena pada hal tersebut terdapat celaan terhadap Allah Ta’âlâ. 
  2. Menyucikan Allah dari perkara-perkara yang tidak pantas bagi-Nya. 
  3. Mengingkari kemungkaran dan mengajari orang yang belum mengetahui. 
  4. Bolehnya menjadikan Rasul shallallâhu ‘alaihi wa sallam sebagai perantara ketika (beliau) masih hidup, yaitu dengan meminta kepada beliau untuk berdoa kepada Allah, agar Allah memenuhi keperluan orang yang memerlukan, karena beliau adalah orang yang doanya dikabulkan. Adapun setelah beliau meninggal dunia maka tidaklah boleh diminta hal itu darinya, karena para shahabat tidak ada yang melakukan hal tersebut sepeninggal beliau. 
  5. Memberi pelajaran dengan metode tanya jawab karena (metode tersebut membuat pelajaran) itu tertanam lebih kuat dalam jiwa.

[Diringkas dari Kitab Penjelasan Ringkas Kitab Tauhid karya Syaikh Shalih Al-Fauzan]

Related

Akidah 5976975746956059464

Posting Komentar

emo-but-icon

Hot in Week

Recent

Comments

Jernihkan Pendengaran Anda

Download Ebook Kaidah Asmaul Husna

Download Ebook Fatwa Seputar Bulan Sya'ban

item