Larangan Untuk Menjadikan Allah Sebagai Perantara Kepada Makhluk-Nya
![](http://img2.blogblog.com/img/icon18_edit_allbkg.gif)
https://ahlussunnah-muna.blogspot.com/2015/05/larangan-untuk-menjadikan-allah-sebagai.html
Dari Jubair bin Muth’im radhiyallâhu ‘anhu, ia berkata, “Ada
seorang badui datang kepada Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam dan berkata,
‘Wahai Rasulullah! Orang-orang kepayahan dan lemah, anak dan istri kami
kelaparan, dan harta benda kami musnah. Oleh karena itu, mintakanlah hujan
untuk kami kepada Rabb-mu. Sungguh kami meminta Allah sebagai per¬antara
kepadamu dan kami memintamu sebagai perantara kepada Allah.’ Maka Nabi
shallallâhu ‘alaihi wa sallam berkata,
سُبْحَانَ
اللهِ! سُبْحَانَ اللهِ!
‘Subhanallah, Subhanallah.’ Beliau terus bertasbih sampai tampak
(perasaan takut karena kemarahan beliau) pada raut wajah para shahabat.
Kemudian beliau bersabda,
وَيْحَكَ،
أَتَدْرِي مَا اللهُ؟ إِنَّ شَأْنَ اللهِ أَعْظَمُ مِنْ ذَلِكَ، إِنَّهُ لَا
يُسْتَشْفَعُ بِاللهِ عَلَى أَحَدٍ مِنْ خَلْقِهِ
‘Celaka kamu! Tahukah kamu siapakah Allah itu? Sungguh kedudukan
Allah jauh lebih agung daripada yang demikian itu. Sesungguhnya tidak
dibenarkan untuk menjadikan Allah sebagai perantara kepada siapapun dari
kalangan makhluk-Nya …,’,” dan seterusnya. [Diriwayatkan oleh Abu Dawud].
Karena adanya penjelasan tentang keharaman menjadikan Allah sebagai
perantara terhadap makhluk-Nya, karena hal itu adalah per¬buatan aniaya bagi rubûbiyyah-Nya
dan merusak tauhid hamba. Sebab, (tugas) sang perantara adalah menjadi
perantara kepada yang kedudukannya lebih tinggi (daripada perantara itu
sendiri), padahal Allah Maha Suci dari hal yang demikian itu karena tidak ada
seorang pun yang lebih tinggi daripada Allah Ta’âlâ. Shahabat yang mulia ini
menyebutkan bahwa seseorang dari pedalaman datang kepada Nabi shallallâhu
‘alaihi wa sallam untuk mengadukan apa yang menimpa manusia dari keperluan
mereka terhadap turunnya hujan, dan dia meminta agar Nabi shallallâhu ‘alaihi
wa sallam meminta kepada Allah agar menurunkan hujan untuk mereka. Akan tetapi
orang itu tidak beradab kepada Allah, yang ia menjadikan Allah sebagai
perantara (dalam meminta) kepada Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Ini adalah
kebodohan dari dirinya tentang hak-hak Allah, karena syafa’at (perantara) itu
adanya hanyalah dari yang lebih rendah (kedudukannya) kepada lebih tinggi.
Oleh karena itulah, Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam mengingkari
hal tersebut dan menyucikan Rabb-nya dari celaan seperti itu. Sementara itu
beliau tidak mengingkari permintaan menjadikan beliau sebagai perantarara orang
tersebut ketika menjadikan beliau sebagi perantara kepada Allah Subhânahu
dengan doa beliau (Nabi) kepada-Nya.
Hadits ini menunjukkan keharaman menjadikan Allah sebagai perantara
kepada seorang pun dari kalangan makhluk-Nya, karena itu merupakan pencelaan
yang Allah menyucikan diri-Nya dari hal tersebut.
Faedah Hadits
- Keharaman menjadikan Allah sebagai perantara kepada seorang pun dari makhluk-Nya, karena pada hal tersebut terdapat celaan terhadap Allah Ta’âlâ.
- Menyucikan Allah dari perkara-perkara yang tidak pantas bagi-Nya.
- Mengingkari kemungkaran dan mengajari orang yang belum mengetahui.
- Bolehnya menjadikan Rasul shallallâhu ‘alaihi wa sallam sebagai perantara ketika (beliau) masih hidup, yaitu dengan meminta kepada beliau untuk berdoa kepada Allah, agar Allah memenuhi keperluan orang yang memerlukan, karena beliau adalah orang yang doanya dikabulkan. Adapun setelah beliau meninggal dunia maka tidaklah boleh diminta hal itu darinya, karena para shahabat tidak ada yang melakukan hal tersebut sepeninggal beliau.
- Memberi pelajaran dengan metode tanya jawab karena (metode tersebut membuat pelajaran) itu tertanam lebih kuat dalam jiwa.
[Diringkas dari Kitab Penjelasan Ringkas Kitab Tauhid karya Syaikh
Shalih Al-Fauzan]