Bersuci Dari Najis dan Hadats
https://ahlussunnah-muna.blogspot.com/2015/05/bersuci-dari-najis-dan-hadats.html
Definisi Thaharah dan Urgensinya
At-Thaharah secara bahasa
berarti keadaan bersih dari kotoran, baik kotoran inderawi seperti najis air
seni, maupun kotoran maknawi seperti perbuatan maksiat. Sedangkan menurut
istilah syariat, thaharah adalah menghilangkan hal-hal yang dapat
menghalangi shalat berupa hadats atau najis, dengan menggunakan air atau
sejenisnya, atau mengangkat hukum najis itu dengan menggunakan tanah.
Hukum mensucikan dan menghilangkan najis adalah
wajib, jika najis itu diketahui dan dapat dihilangkan. Allah Taala
berfirman, “Dan pakaianmu, bersihkanlah.” (al-Muddatsir: 4) “Dan
telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: “Bersihkanlah rumah-Ku untuk
orang-orang yang thawaf, yang i’tikaf, yang ruku’ dan yang sujud.” (al-Baqarah:
125) Sedangkan mensucikan diri dari hadats hukumnya wajib untuk melaksanakan
shalat. Dasarnya adalah sabda Nabi shallallahu alaih wa sallam, “Tidak
diterima shalat yang (dilakukan) tanpa bersuci.” (HR. Muslim 224)
Urgensi thaharah dapat terlihat dari hal-hal
berikut:
1.
Ia merupakan syarat
sahnya shalat seorang hamba. Nabi shallallahu alaih wa sallam bersabda, “Tidak
diterima shalat orang yang berhadats hingga ia berwudhu.” (Muttafaqun
alaih, al-Bukhari 135, dan Muslim 225)
2.
Mengerjakan shalat
dengan bersuci adalah bentuk pengagungan kepada Allah Taala. Sementara
keadaan berhadats dan junub –walaupun keduanya bukan najis yang tampak- adalah
najis maknawi yang menyebabkan kotornya sesuatu yang berhubungan dengannya. Keadaan
ini dapat menghilangkan pengagungan kepada Allah, dan melanggar prinsip
kebersihan.
3.
Allah Taala
memuji orang-orang yang bersuci. Allah Taala berfirman, “Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang
mensucikan diri.” (al-Baqarah: 222) “Di dalam masjid itu ada orang-orang
yang ingin membersihkan diri. Dan sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bersih.” (at-Taubah: 108)
4.
Kelalaian
membersihkan diri dari najis merupakan salah satu sebab siksa kubur.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu
alaih wa sallam pernah melewati dua kuburan, lalu beliau bersabda,
“Sesungguhnya kedua penghuni kubur ini sedang diazab. Dan tidaklah mereka
berdua diazab karena suatu perkara yang besar (sulit untuk dikerjakan). Orang
yang satu diazab karena tidak membersihkan dirinya dari air seninya..” (HR.
Abu Dawud: 20)
Jenis-jenis Thaharah
Para ulama membagi thaharah syar’iyyah
menjadi dua bagian:
1.
Thaharah haqiqiyyah, yaitu thaharah
dari al-khubts (najis). Najis ini mungkin terdapat pada tubuh, pakaian
dan tempat
2.
Thaharah hukmiyyah, yaitu thaharah
dari hadats. Hadats ini hanya terdapat pada badan. Thaharah jenis ini terbagi
tiga: thaharah kubra, yaitu mandi; thaharah shugra, yaitu wudhu;
dan pengganti keduanya apabila tidak bisa dilakukan adalah tayammum.
Thaharah Haqiqiyyah
Najis
Najis adalah lawan dari kata thaharah.
Najis adalah istilah untuk suatu benda yang kotor menurut syari’at. Setiap
muslim wajib membersihkan diri dari najis, dan mencuci sesuatu yang terkena
najis.
Benda-benda yang disebut sebagai najis
berdasarkan dalil-dalil syar’i adalah:
1.
Kotoran
manusia/tinja
Nabi shallallahu alaih wa sallam
bersabda, “Jika sandal salah seorang dari kalian menginjak kotoran, maka
tanah adalah pembersih baginya.” (HR. Abu Dawud 385) Hadits-hadits yang
memeritahkan untuk beristinja juga menunjukkan najisnya kotoran manusia.
2.
Air seni manusia
Dasarnya ialah hadits Anas radhiyallahu anhu,
bahwa ada seorang Arab pedalaman buang air kecil di masjid. Lalu beberapa orang
bangkit mendatanginya. Nabi shallallahu alaih wa sallam bersabda,
“Biarkan dia! Jangan putus buang hajatnya.” Setelah orang itu selesai, Nabi
shallallahu alaih wa sallam meminta seember air untuk disiramkan di atas
bekas kencing orang tersebut. (HR. al-Bukhari 6025 dan Muslim 284)
3.
Madzi
Madzi adalah carian halus kental yang keluar ketika
syahwat sedang naik. Seperti saat bercumbu dengan istri, atau ketika
mengingat/menginginkan jimak. Keluarnya tidak memancar, dan setelah keluar
tubuh tidak terasa lemas. Kadangkala, keluarnya juga tidak terasa. Cairan ini
terdapat pada pria dan wanita. Namun ia lebih banyak terdapat pada wanita.
Madzi adalah najis menurut kesepakatan ulama. Rasulullah shallallahu alaih
wa sallam bersabda kepada orang yang bertanya tentang madzi, “Hendaknya
ia mencuci kemaluannya, dan berwudhu.” (HR. al-Bukhari 269 dan Muslim 303)
4.
Wadi
Wadi adalah cairan berwarna putih dan kental
yang keluar setelah buang air kecil. Ini juga najis berdasarkan ijma.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu
anhu, ia berkata, “Mani, wadi dan madzi. Adapun mani, maka itulah yang
menyebabkan wajibnya mandi. Sedangkan wadi dan madzi, ia mengatakan,
“Cucilah kemaluanmu, lalu berwudhulah seperti wudhu untuk shalat.”
5.
Darah haid
Dasarnya adalah hadits Asma binti Abu Bakar, ia
berkata, “Seorang wanita datang kepada Nabi shallallahu alaih wa sallam
dan berkata, “Wahai Rasulullah, seorang dari kami bajunya terkena darah haid.
Apa yang harus dilakukannya?” Beliau menjawab, “Hendaknya ia mengeriknya,
kemudian menggosoknya dengan air, lalu membilasnya. Setelah itu ia bisa
menggunakannya untuk shalat.” (HR. al-Bukhari 227 dan Muslim 291)
6.
Kotoran hewan yang
tidak boleh dimakan dagingnya
Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu
anhu, ia berkata, “Nabi shallallahu alaih wa sallam hendak buang air
besar, lalu beliau bersabda, “Bawakan kepadaku tiga buah batu.” Aku
menemukan dua buah batu dan kotoran hewan (keledai). Maka beliau mengambil dua
buah batu itu dan membuang kotoran hewan, seraya berkata, “Itu adalah rijs
(najis)” (HR. al-Bukhari 156 dan at-Tirmidzi 17) Hadits ini menunjukkan
kotoran hewan yang tidak boleh dimakan dagingnya adalah najis.
7.
Air liur anjing
Rasulullah shallallahu alaih wa sallam
bersabda, “Cara membersihkan bejana salah seorang dari kalian, apabila ada
anjing yang minum darinya adalah dengan mencucinya tujuh kali. Cucian yang
pertama dengan tanah.” (HR. Muslim 279) Hadits ini menunjukkan liur anjing
adalah najis.
8.
Daging babi
Ini adalah najis menurut kesepakatan ulama,
berdasarkan firman Allah Taala, “Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh
dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang
hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir
atau daging babi -karena sesungguhnya semua itu kotor.” (al-An’aam: 145)
9.
Bangkai
Bangkai adalah binatang yang mati tanpa
disembelih secara syar’i. Bangkai adalah najis menurut ijma. Dasarnya ialah
sabda Nabi shallallahu alaih wa sallam, “Bila kulit bangkai sudah disamak,
maka ia menjadi suci.” (HR. Muslim 366)
Dikecualikan darinya, bangkai ikan dan
belalang. Keduanya suci berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaih wa sallam,
“Dihalalkan bagi kita dua jenis bangkai dan dua jenis darah. Adapun dua jenis
bangkai adalah bangkai ikan dan bangkai belalang. Sedangkan dua jenis darah
adalah hati dan limpa.” (HR. Ibnu Majah 3218)
Demikian pula bangkai binatang yang tidak
memiliki darah yang mengalir. Seperti lalat, lebah, semut, kutu dan sejenisnya.
Dasarnya adalah sabda Nabi shallallahu alaih wa sallam, “Jika lalat jatuh
pada gelas salah seorang dari kalian, maka hendaknya ia mencelupkan seluruh
badannya atau membuangnya. Karena pada salah satu sayapnya ada racun dan pada
sayap yang lainnya ada penawarnya.” (HR. al-Bukhari 3320)
Tulang, tanduk, kuku, rambut dan bulu bangkai,
semua pada dasarnya adalah suci. Al-Bukhari meriwayatkan secara mu’allaq dalam
shahihnya, “Az-Zuhri berkata, -tentang tulang bangkai gajah dan selainnya- “Aku
mendapati beberapa orang dari ulama salaf menggunakannya sebagai sisir dan sebagai
tempat wadah minyak. Mereka menganggapnya tidak mengapa.” Hammad berkata,
“Tidak mengapa dengan bulu bangkai.”
10.
Potongan tubuh dari
hewan yang masih hidup
Bagian tubuh hewan yang diputus, sementara
hewan itu masih hidup, hukumnya adalah hukum bangkai. Hal ini berdasarkan sabda
Nabi shallallahu alaih wa sallam, “Bagian tubuh yang dipotong dari hewan
sedangkan dia masih hidup adalah bangkai.” (HR. at-Tirmidzi 1480)
11.
Su`r (sisa) makanan dan
minuman dari binatang buas atau hewan yang tidak boleh dimakan dagingnya.
Su’r adalah air yang tersisa pada wadah atau bejana
tempat minum. Dalil yang menunjukkan kenajisannya adalah sabda Nabi shallallahu
alaih wa sallam saat beliau ditanya tentang air yang terdapat di tanah
lapang yang sering didatangi binatang buas atau hewan yang tidak boleh dimakan
dagingnya. Beliau bersabda, “Jika air itu kadarnya mencapai dua qullah, maka
ia tidak membawa najis.” (HR. Abu Dawud 63) Adapun kucing dan sejenisnya,
maka sisa minumnya adalah suci. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu
alaih wa sallam, “Sesungguhnya kucing tidaklah najis, karena kucing adalah
hewan yang hidup di sekitar kalian.” (HR. Ahmad 7/303)
12.
Daging hewan-hewan
yang tidak boleh dimakan
Dasarnya adalah hadits Anas radhiyallahu
anhu, ia berkata, “Kami memakan daging keledai pada hari peperangan
Khaibar, maka Nabi shallallahu alaih wa sallam berseru, “Sesungguhnya
Allah dan Rasul-Nya melarang kalian (makan) daging keledai, karena sesungguhnya
ia adalah rijs atau najis.” (HR. Muslim 1940)
Dan pada hadits Salamah bin al-Akwa’, ia
berkata, “Pada hari ditaklukannya Khaibar, dinyalakanlah api yang sangat
banyak. Maka Nabi shallallahu alaih wa sallam bertanya, “Api apakah
ini; untuk apa mereka menyalakannya?” Mereka menjawab, “Orang-orang sedang
memasak daging.” Nabi shallallahu alaih wa sallam bertanya, “Memasak
daging apa?” Mereka menjawab, “Memasak daging keledai peliharaan.” Maka
beliau bersabda, “Tumpahkan dan pecahkanlah (bejana-bejananya)!” Seorang
laki-laki ada yang berkata, “Wahai Rasulullah, atau kami menumpahkannya dan
mencucinya?” Beliau menjawab, “Atau seperti itu (menumpahkan kemudian
mencuci bejananya).” (HR. Muslim 1802)
(Sumber: Shahih Fiqh Sunnah, Abu
Malik Kamal)